" Dan carilah pada apa yang di anugerahkan kepadamu ( kebahagian ) akhirat dan janganlah kamu melupakan dari nikmat dunia (berbuat baik dengan orang lain ) seperti Allah telah membuat baik keatas kamu dan janganlah kamu membuat kerosakan dimuka bumi "sesungguhnya Allah tidak suka orang - orang yang membuat kerosakan"
Semangat Perjuangan
Isnin, 4 Februari 2013
siapa dia ulama
Terlalu banyak dan mudah orang digelari ulama. Di negeri ini saja, mungkin ada ribuan orang bergelar “ulama”. Namun siapakah sesungguhnya ulama itu?
Hingga kini banyak perbedaan dalam mendefinisikan ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu.
Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shalih dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah .
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh ilmu selain Al-Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fiqh, serta memahami agama. Ilmu adalah yang padanya terdapat haddatsana (telah mengkabarkan kepada kami – yakni ilmu hadits) dan selainnya adalah bisikan-bisikan setan.”
Ibnul Qayyim menyatakan: “Ilmu adalah berkata Allah , berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang akal sehat tiada menyelisihinya.” (Al-Haqiqatusy-Syar’iyah: 119-120)
Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut, mengamalkannya, dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah . Oleh karenanya dahulu sebahagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah , mengetahui batasan-batasan syariat-Nya dan kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29)
Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155)
Ibnu Majisyun, salah seorang murid Al-Imam Malik mengatakan: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits. Dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan: “Jika ada sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali kepada orang yang terpercaya dan berilmu tentang Al Kitab dan As Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Merekalah ulama yang hakiki, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam madzhab fiqh, dan ulama suu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas As-Sunnah. Wallahu a’lam.